Dalam kamus Bahasa Inggris, istilah profesi disebut sebagai profession, yang artinya pekerjaan, sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa, profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (ketrampilan, kerajinan, dan sebagainya).
Mahjuddin mengartikan profesi sebagai suatu pekerjaan tetap dengan keahlian tertentu, yang dapat menghasilkan gaji, honor, upah, atau imbalan.3 Jadi usaha profesi erat kaitannya dengan sikap profesional, yaitu sesuatu hal yang dilakukan dengan dukungan kepandaian khusus untuk menjalankannya.
Menurut Yusuf Qardlawi, profesi dibagi menjadi dua bagian, yaitu Kasb al-Amal dan Mihan al-Hurrah. Kasb al-Amal adalah pekerjaan seseorang yang tunduk pada perseroan atau perseorangan dengan mendapatkan upah.
Mihan Al-Hurrah adalah pekerjaan bebas, tidak terikat pada orang lain. Dalam definisi yang lain menurut Fachrudin, sebagaimana dikutip oleh Muhammad mengklasifikasikan usaha profesi ke dalam beberapa kriteria bila dilihat dari bentuknya:
- Usaha fisik
- Usaha fikiran
- Usaha kedudukan
- Usaha modal
Kemudian bila ditinjau dari hasil usahanya, profesi itu bisa berupa:
- Hasil yang teratur dan pasti, baik setiap bulan, minggu atau hari
- Hasil yang tidak tetap dan tidak dapat diperkirakan secara pasti
Dari beberapa pengertian yang disebutkan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa secara umum, profesi adalah segala kegiatan atau aktifitas kerja yang dilakukan oleh manusia dengan dibekali keahlian dan ketrampilan tertentu untuk mendapatkan hasil berupa upah atau gaji dalam kurun waktu tertentu.
Pengertian profesi secara lebih terinci dapat dibedakan menjadi dua kategori. Pertama, profesi yang tidak terkena kewajiban zakat, kedua profesi yang wajib zakat. Profesi yang tidak wajib zakat adalah profesi yang dilakukan oleh seseorang dengan keahlian tertentu untuk mendapatkan gaji.
Adapun profesi yang wajib zakat adalah profesi yang dilakukan oleh manusia dengan keahlian tertentu yang dilakukan dengan mudah dan mendatangkan hasil (pendapatan) yang cukup melimpah (di atas rata-rata pendapatan penduduk). Seperti misalnya komisaris perusahaan, bankir, konsultan, analisis, broker, dokter spesialis, pemborong berbagai konstruksi, eksporti dan importir, akuntan, artis, notaris, dan berbagai penjual jasa, serta macam-macam profesi kantoran (white collar) lainnya.
Artinya bahwa, mudah dan cukup melimpah tersebut di atas adalah dimungkinkan dengan jangka waktu yang sama dalam melakukan pekerjaan atau profesinya, seseorang akan mendapatkan pendapatan atau penghasilan yang jauh berbeda.
Misalkan antara seorang buruh bangunan yang bekerja siang dan malam dalam waktu satu bulan, mungkin hanya mendapatkan hasil yang cukup untuk makan dan kebutuhan sehari-hari keluarganya, sedangkan seorang dokter spesialis juga dalam waktu satu bulan memungkinkan mendapatkan hasil yang lebih dari cukup untuk kebutuhan sehari-hari bersama keluarga. Jadi, profesi seperti dokter spesialis tersebut yang dimungkinkan wajib zakat atas dasar mudah dan melimpahnya hasil yang didapat. Mahjuddin juga menggambarkan beberapa contoh profesi yang dimungkinkan wajib zakat, antara lain:
- Profesi dokter (The medical profession).
- Profesi pekerja teknik/Insinyur (The engineering profession).
- Profesi guru, dosen, guru besar atau tenaga pendidik (The teaching profession).
- Profesi advokat (pengacara), konsultan, wartawan, dan sebagainya.
Pengertian Zakat Profesi
Menurut Yusuf Qardlawi, kategori zakat profesi (yang wajib dizakati) adalah segala macam pendapatan yang didapat bukan dari harta yang sudah dikenakan zakat. Artinya, zakat profesi didapat dari hasil usaha manusia yang mendatangkan pendapatan dan sudah mencapai nishab. Bukan dari jenis harta kekayaan yang memang sudah ditetapkan kewajibannya melalui al-Qur’an dan hadits Nabi, seperti hasil pertanian, peternakan, perdagangan, harta simpanan (uang, emas, dan perak), dan harta rikaz. Jadi kewajiban zakat profesi merupakan kewajiban baru dari hasil ijtihad ulama yang belum ditetapkan sebelumnya, melalui dalil al- Qur’an ataupun al-Sunnah.
Mahjuddin berpendapat, zakat profesi memiliki arti zakat yang dikeluarkan dari sumber usaha profesi atau pendapatan jasa. Dalam bukunya Masail Fiqhiyah, Masjfuk Zuhdi juga memberikan keterangannya tentang zakat profesi, yaitu zakat yang diperoleh dari semua jenis penghasilan yang halal yang diperoleh setiap individu Muslim, apabila telah mencapai batas minimum terkena zakat (nishab) dan telah jatuh tempo / haul-nya.
Menurut Didin Hafidhuddin, zakat profesi adalah zakat yang dikenakan pada tiap pekerjaan atau keahlian tertentu, baik yang dilakukan sendirian maupun bersama orang lain / dengan lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (uang) yang memenuhi nishab (batas minimum untuk berzakat).
Berdasarkan beberapa pengertian zakat profesi di atas, dapat disimpulkan bahwa zakat profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari hasil usaha yang halal yang dapat mendatangkan hasil (uang) yang relatif banyak dengan cara yang mudah, melalui suatu keahlian tertentu dan sudah mencapai nishab.
Dasar Hukum Zakat Profesi dalam Islam
Kewajiban tentang zakat profesi memang masih perlu dipertanyakan, karena tidak ada nash yang sharih (jelas) dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah. Oleh karena itu, perlu dicari kejelasan hukumnya dengan jalan menggali hukum dengan metode ijtihad (ra’yu), yang antara lain meliputi: metode qiyqs, maslahah mursalah, istihsan, ataupun metode yang lain.
Pada masa yang akan datang manusia akan lebih memerlukan ijtihad untuk mereformasi kebudayaan, menggeser tradisi, dan mengganti keputusan agar sejalan dengan perubahan zaman dan tempat. Karena sesuatu yang baik menurut suatu zaman tertentu kadang-kadang tidak selalu baik pada masa yang lain. Begitupun sesuatu yang dapat direalisasikan pada suatu tempat tertentu, belum tentu dapat direalisasikan pada suatu tempat yang lain.
Dalam masalah zakat hukum Islam berkembang, hal-hal yang dulu belum dikenai zakat sekarang sudah banyak yang ditetapkan zakatnya, di antaranya adalah zakat profesi.16 Ketika dikembalikan kepada nash-nash yang ada, pengambilan hokum tentang hukum-hukum ‘amaliyah, jumhur ulama telah menyepakatinya bahwa dalil-dalil syar’iyyah berpangkal pada empat pokok, yaitu Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.
Mengenai istinbath hukum tentang kewajiban membayar zakat profesi, terlebih dahulu mencari landasan hukumnya pada nash-nash al- Qur’an. Oleh karenanya, ketika mencari landasan hukum kewajiban membayar zakat profesi, Yusuf Qardlawi antara lain mendasarkannya pada al-Qur’an surat al-Baqarah: 267 yang berbunyi :
Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan) Allah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Q.S. al-Baqarah: 267)
Yusuf Qardlawi menafsirkan keumuman lafal “Maa Kasabtum” dalam ayat di atas yang berarti mencakup segala macam usaha; perdagangan atau pekerjaan dan profesi, sedangkan jumhur ulama fiqh mengambil keumuman maksud surat Al-Baqarah: 267 tersebut di samping sebagai landasan wajibnya zakat perdagangan juga menjadikan wajibnya zakat atas usaha profesi Sesuai ayat tersebut di atas, kata “anfiquu” memfaedahkan wajib, karena kata “anfiquu” merupakan fiil amar dari fiil madhi “anfaqo” Sesuai dengan kaidah ushul fiqh “pada asalnya perintah itu memfaedahkan wajib”
Menurut Fachrudin, sebagaimana dikutip oleh Muhammad kata “Maa Kasabtum”dalam surat tersebut bersifat umum (‘am) dan memang sudah mendapat takhsis-nya, yaitu hadis Rasulullah SAW. tentang bentuk dan jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya.
Akan tetapi, karena hukum pada ‘am dan ‘khas ini sama, maka keumuman itu tetap berlaku secara utuh untuk menetapkan zakat profesi.
Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fi Zhilalil Qur’an, menafsirkan surat al-Baqarah :267, bahwa nash tersebut mencakup seluruh hasil usaha manusia yang baik dan halal dan mencakup pula seluruh yang dikeluarkan Allah SWT. dari dalam dan atas bumi, baik yang terdapat di zaman Rasulullah SAW., maupun di zaman sesudahnya.
Sedangkan menurut Amir Syarifuddin, penggunaan kata “Maa” dalam ayat tersebut di atas adalah mencakup segala apa-apa yang diperoleh melalui hasil usaha atau jasa, dan juga apa-apa yang dikeluarkan atau diusahakan dari bumi.
Dengan argumentasi bahwa kekuatan lafadz umum terhadap semua satuan pengertian yang tercakup di dalamnya secara pasti, sebagaimana penunjukkan lafadz khusus terhadap arti yang terkandung di dalamnya. Penggunaan lafadz umum untuk semua satuan pengertian ini berlaku sampai ada dalil lain yang membatasinya.
Hamid Laonso juga mengatakan bahwa kata dalam ayat tersebut memberikan legitimasi terhadap semua jenis usaha dan profesi yang dimiliki yang kesemuanya mendatangkan penghasilan yang cukup banyak, seperti pengacara, dokter ahli, jasa perhotelan, jasa penginapan, dan sebagainya.
Kemudian dalam Surat at-Taubah :103 juga dinyatakan: Artinya : “Ambillah sedekah (zakat) dari sebagian harta mereka, dengan sedekah itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (at-Taubah : 103)
Makna terminologi generik ayat tersebut menunjuk pada harta kekayaan, tidak menunjuk dari mana harta itu diperoleh (usaha) yang bernilai ekonomi, dan karena spektrumnya lebih bersifat umum, maka di dalamnya termasuk jasa/gaji yang secara rasional adalah bagian dari harta kekayaan, sehingga wajib dikeluarkan zakatnya.Selanjutnya dengan dasar as-Sunnah untuk mengukuhkan kewajiban zakat profesi, berdasarkan pada keumuman makna hadits. Yang antara lain hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari sebagai berikut:
“Setiap orang muslim wajib bersedekah, Mereka bertanya: “Wahai Nabi Allah, bagaimana yang tidak berpunya?, Nabi menjawab:” Bekerjalah untuk mendapat sesuatu untuk dirinya, lalu bersedekah”. Mereka bertanya kembali: ”Kalau tidak mempunyai pekerjaan?, Nabi menjawab: “Kerjakan kebaikan dan tinggalkan keburukan, hal itu merupakan sedekah.” (H.R Bukhari)
Yusuf Qardlawi menafsirkan keumuman dari makna hadits tersebut di atas bahwa zakat wajib atas penghasilan sesuai dengan tuntunan Islam yang menanamkan nilai-nilai kebaikan, kemauan, berkorban, belas kasihan, dan suka memberi dalam jiwa seorang muslim. Untuk itu Nabi mewajibkan pada setiap muslim mengorbankan sebagian harta penghasilannya atau apa saja yang bisa ia korbankan.
Adapun dalam hal qiyas, wajibnya zakat profesi diqiyaskan pada tindakan khalifah Mu’awiyah yang mengenakan zakat atas pemberian menurut ukuran yang berlaku dalam negara Islam, karena beliau adalah khalifah dan penguasa umat Islam. Dan perbuatan khalifah Umar Ibnu Abdul Aziz yang memungut zakat pemberian (u’tiyat) dan hadiah. Juga memungut zakat dari para pegawainya setelah menerima gaji, serta menarik zakat dari orang yang menerima barang sitaan (mazalim) setelah dikembalikan kepadanya.
Menurut para Imam Madzhab terjadi perbedaan pendapat. Menurut Imam Syafi’i, zakat penghasilan tidak wajib zakat meskipun ia memiliki harta sejenis yang sudah cukup nishab. Tetapi ia mengecualikan anak-anak binatang piaraan, di mana anak-anak binatang itu tidak dikeluarkan zakatnya bersamaan dengan zakat induknya yang sudah mencapai nishab.
Dan bila belum mencapai nishab, maka tidak wajib zakatnya. Dalam kitabnya al-Umm, Imam Syafi’I mengatakan apabila seseorang menyewakan rumahnya kepada orang lain dengan harga 100 dinar selama 4 tahun dengan syarat pembayarannya sampai batas waktu tertentu, maka apabila ia telah mencapai satu tahun, ia harus mengeluarkan zakatnya untuk 25 dinar pada satu tahun pertama dan membayar zakat untuk 50 dinar pada tahun kedua, dengan memperhitungkan uang 25 dinar yang telah dikeluarkan zakatnya pada tahun pertama dan seterusnya, sampai ia mengeluarkan zakatnya dari 100 dinar dengan memperhitungkan zakat yang telah dikeluarkan, baik sedikit atau banyak.
Menurut Imam Malik, harta penghasilan tidak dikeluarkan zakatnya kecuali sampai penuh waktu setahun. Baik harta tersebut sejenis dengan harta yang ia miliki atau tidak, kecuali jenis binatang piaraan. Karena orang yang memperoleh penghasilan berupa binatang piaraan yang sejenis dan sudah mencapai nishab, maka ia harus mengeluarkan zakat dan keseluruhan binatang itu apabila sudah genap satu tahun. Dan apabila kurang dari satu nishab, maka tidak wajib zakat.
Dalam suatu kasus tentang seseorang yang memiliki 5 dinar hasil dari sebuah transaksi, yang kemudian ia investasikan dalam perdagangan, maka begitu jumlahnya meningkat pada jumlah yang harus dibayarkan zakat dan satu tahun telah berlalu dari transaksi pertama, menurut Imam Malik ia harus membayar zakat meskipun jumlah yang harus dizakatkan itu tercapai satu hari sebelum ataupun sesudah satu tahun. Karena itu, tidak ada zakat yang harus dibayarkan sejak hari zakat diambil (oleh pemerintah) sampai dengan waktu satu tahun telah melewatinya.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa harta penghasilan itu dikeluarkan zakatnya bila mencapai masa satu tahun penuh pada pemiliknya kecuali jika pemiliknya mempunyai harta sejenis yang harus dikeluarkan zakatnya, yang untuk itu zakat harta penghasilan.
Dari beberapa dalil dan pendapat-pendapat tersebut di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa wajibnya zakat profesi didasarkan pada surat al-Baqarah: 267 yang bersifat umum dan hadits-hadits yang bersifat umum pula, baik keumumannya menyangkut materi hasil usaha, apakah yang diperoleh dari perdagangan, investasi modal, honorarium, gaji, dan sebagainya.
Atau keumumannya dari segi waktu yang tidak membatasi harus sudah satu tahun pemilikan harta Untuk menetapkan teknis penerapan ketentuan zakat profesi mulai dari nishab, kadar, dan waktunya menggunakan dalil qiyas (analogical reasoning). Sudah barang tentu menggunakan dalil qiyas sebagai dalil syar’i, harus memenuhi syarat dan rukunnya agar menemukan hukum ijtihadi yang aktual dan proporsional.
Kewajiban membayar zakat profesi adalah sesuai dengan tuntunan Islam yang menanamkan nilai-nilai kebaikan, kemauan berkorban, belas kasihan, dan suka memberi dalam jiwa seorang Muslim. Sesuai pula dengan prinsip kemanusiaan yang memang harus ada dalam masyarakat; ikut merasakan beban orang lain dan menanamkannya dalam keyakinan beragama juga, sebagai pokok sifat kepribadiaannya.
Daftar Maraji’
John M. Echols & Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1982, Cet. XI.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1990, Cet. III.
Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah; Berbagai kasus yang dihadapi Hukum Islam masa kini, Jakarta: Kalam Mulia, 2003, Cet. IV.
Muhammad, Zakat Profesi: Wacana Pemikiran dalam Fiqh Kontemporer, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002,
Cet. I. Yusuf Qardlawi, Fiqhuz-Zakat, Terj. Didin Hafidhuddin, et.al., Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 1996, Cet. IV.
Amin Rais, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan, Cet. VII, 1996.
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta: Gunung Agung, Cet. X, 1997.
Didin Hafidhuddin, Panduan Praktis Tentang Zakat Infak Sedekah, Jakarta: Gema Insani Press, 2004, Cet.4.
Al-Sayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh Hasil Refleksi Ijtihad, Jakarta: Raja Grafindo Persada,1995.
Fachruddin HS, Ensiklopedia Al-Qur’an, Jakarta: Rineka Cipta, 1992, Cet.I,.
Muchlis Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Sayyid Quthub, Tafsir Fi Zhilaalil Qur’an di Bawah Naungan Al-Qur’an, Terj. Fi Zhilalil Qur’an, Beirut: Daar el-Surq, Jilid I.
Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, Jakarta:Logos, 1987, Jilid I.
Hamid Laonso dan Muhammad Jamil, Hukum Islam Alternatif, Solusi Terhadap Masalah Fiqh Kontemporer, Jakarta: Restu Ilahi, 2005, Cet. I. .
Imam Bukhari, Shahih al-Bukhari, Lebanon: Daar el-Kutub, Juz I, t.t,
Imam az-Zabidi, Ringkasan Shahih al-Bukhari,Terj. Tajrid al-Shahih li-ahadits al- Jami’ al Shahih, Bandung : Mizan, 2001,Cet.V.
Ibn Hazm, al-Muhalla, Beirut: Daar el-Kutub al-Umiyyah, Juz 4.
al-Syafi’i, al-Umm, Daar el-Fikr: Juz II. al-Zarqany, Syarh
al-Zarqany ‘ala Muwatta’ al-Imam Maliki, Beirut: Daar el-Fiqr, Juz II.
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Terj. Kitab Ilmu Ushul Fiqh, Semarang : Dina Utama Semarang, Cet. I.
Nasroen Haroen. Ushul Fiqh I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Cet. II, 1997.