Hukum Zakat Penghasilan – Subjek zakat disebut muzakki, yaitu orang yang berdasarkan ketentuan hukum Islam diwajibkan mengeluarkan zakat atas harta yang dimilikinya. Para ulama sepakat bahwa zakat hanya diwajibkan kepada orang Islam dewasa yang sehat akal, merdeka dan memiliki kekayaan dalam jumlah tertentu dengan syarat-syarat tertentu pula. Menurut hukum positif subjek dapat berarti pula badan (lembaga), karena badan mempunyai sifat hukum seperti orang. Oleh karena itu akhir-akhir ini subjek zakat diperluas tidak hanya orang pribadi, namun termasuk juga badan, dengan tetap menghindari zakat berganda.
Objek Zakat Penghasilan
Al-Qur’an tidak memberi ketegasan tentang jenis-jenis harta yang wajib zakatnya dan syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi, serta tidak menjelaskan berapa besar yang harus dizakatkan. Persoalan itu diserahkan kepada sunnah Nabi, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan. Sunnah itulah yang menafsirkan yang masih bersifat umum, menerangkan yang masih samar dan membuat prinsip-prinsip aktual dan bisa diterapkan dalam kehidupan manusia. Hal itu karena Rasulullah saw yang bertanggungjawab menjelaskan al-Qur’an dengan ucapan, perbuatan dan ketetapan beliau. Dan beliau pulalah yang lebih paham tentang maksud firman Allah SWT.
Tidak semua harta benda atau kekayaan yang dimiliki oleh seseorang terkena zakat. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain:
Bebas zakat, seperti rumah tempat tinggal beserta meubelair, mobil pribadi dan peralatan kerja.
Wajib dizakati harta bendanya saja, seperti emas dan perak, apabila telah mencapai nishab dan haulnya.
Wajib dizakati penghasilan dari harta bendanya saja, seperti hasil dari tanah pertanian atau perkebunan dan sewa gedung.
Wajib dizakati harta benda dan penghasilan yang timbul dari padanya, seperti hasil dari peternakan dan perdagangan.
Zakat Profesi
Zakat profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari hasil usaha yang halal yang dapat mendatangkan hasil (uang) yang relatif banyak dengan cara yang mudah, melalui suatu keahlian tertentu. dikenakan pada penghasilan para pekerja karena profesinya. Dari pengertian tersebut, dapat di pahami bahwa yang termasuk pekerja profesi itu, seperti konsultan, pengacara, kontraktor, investor, dokter dan sebagainya.
Semua penghasilan melalui kegaitan profesional tersebut, apabila telah mencapai nishab, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Hal ini berdasarkan nash-nash yang bersifat umum.
Dalam penentuan nishab, kadar dan waktu pengeluarannya, terdapat beberapa kemungkinan, hal ini bergantung pada qiyas (analogi) yang dilakukan. Jika di analogikan pada zakat perdagangan, maka nishab, kadar dan waktu mengeluarkannya sama dengannya dan sama pula dengan zakat emas dan perak. Nishabnya senilai 85 gram emas, kadar zakatnya 2,5 % dan waktu mengeluarkannya setahun sekali, setelah dikurangi kebutuhan pokok.
Mengenai cara pengeluarannya, Yusuf Qardawi memberikan pandangannya berdasarkan pendapat yang lebih kuat dari para sahabat dan ahli hadist terdahulu. Menurutnya, zakat profesi dikeluarkan pada waktu diterima. Hal ini berdasarkan ketentuan hukum syara’ yang berlaku umum, karena persyaratan haul dalam seluruh harta termasuk harta penghasilan tidak berdasarkan nash yang mencapai tingkat shahih. Oleh karena itu ia menegaskan bahwa zakat profesi itu hukumnya wajib, terkena persyaratan haul tetapi dikeluarkan pada waktu diterima.
Zakat Perusahaan
Pada saat sekarang ini, hampir sebagian besar perusahaan dikelola tidak secara individual, melainkan secara bersama dalam sebuah kelembagaan dan organisasi dengan manajemen yang modern, misalnya dalam bentuk PT, CV, atau koperasi.
Adapun yang menjadi landasan hukum kewajiban zakat pada perusahaan adalah nash-nash yang bersifat umum, seperti termaktub dalam surat al-Baqarah: 267. Karena itu dalam Muktamar Internasional Pertama tentang Zakat di Kuwait (29 Rajab 1404 H) menyatakan bahwa kewajiban zakat sangat terkait dengan perusahaan, dengan catatan antara lain adanya kesepakatan sebelumnya antara pemegang saham, agar terjadi keridhaan dan keikhlasan ketika mengeluarkannya. Menurut hasil muktamar tersebut, perusahaan termasuk kedalam Syahshan I’tibaran (badan hukum yang dianggap orang), karena didalamnya timbul transaksi, meminjam, menjual, berhubungan dengan pihak luar dan menjalin kerjasama.
Dalam kaitan dengan kewajiban zakat perusahaan ini, dalam Undang Undang No. 38 Tahun 1999, tentang Pengelolaan Zakat, Bab. IV pasal 11 ayat (2) bagian (b) dikemukakan bahwa diantara objek zakat yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah perdagangan dan perusahaan.
Zakat Surat-Surat Berharga
Zaman modern ini mengenal satu bentuk kekayaan yang diciptakan oleh kemajuan dalam bidang industri dan perdagangan didunia, yang disebut Saham dan Obligasi. Saham dan obligasi adalah kertas berharga yang berlaku dalam transaksi-transaksi perdagangan khusus yang disebut “Bursa Kertas-kertas Berharga”.
Zakat Saham
Saham adalah hak pemilikan tertentu atas kekayaan satu perseorangan terbatas atau atas penunjukan atas saham tersebut. Tiap saham merupakan bagian yang sama kekayaan itu.Pemegang saham adalah pemilik perusahaan yang mewakilkan kepada manajemen untuk menjalankan operasional perusahaan. Pada setiap akhir tahun, yang biasanya pada waktu Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dapatlah diketahui keuntungan (deviden) perusahaan, termasuk juga kerugiannya. Pada saat itulah ditentukan kewajiban zakat terhadap saham tersebut.
Saham merupakan salah satu model investasi yang diperbolehkan menurut fiqih Islam, karena keinginan untuk mendapatkan laba dan keuntungan dengan saham itu tetap berhadapan dengan kerugian, dan pengambilan dengan pemberian, sedangkan yang diperoleh adalah laba yang baik, dan keuntungan yang halal. Karena laba itu bukanlah merupakan prosentase tertentu yang ditetapkan sebelumnya dari modal, tetapi merupakan prosentase wajar yang terambil dari laba, tiap tahun tidak sama, sesuai dengan laba yang diperoleh, selain bahwa saham itu bisa saja mengalami kerugian yang kadang-kadang sampai mengakibatkan berkurangnya sebagian dari modal itu sendiri.
Yusuf Qardhawi, mengemukakan dua pendapat yang yang berkaitan dengan kewajiban zakat pada saham tersebut. Pertama, jika perusahaan itu merupakan perusahaan industri murni, artinya tidak melakukan kegiatan dagang, maka sahamnya tidak wajib dizakati, dengan alasan karena saham-saham itu terletak pada alat-alat, perlengkapan, gedung, sarana dan prasarana lainnya, yang keuntungannya disatukan kedalam kekayaan pemilik saham-saham tersebut, dimana zakatnya dikeluarkan bersama harta lainnya sebagai zakat kekayaan. Kedua, jika perusahaan tersebut merupakan perusahaan dagang murni yang membeli dan menjual barang-barang tanpa melakukan kegiatan pengolahan, maka saham-saham atas perusahaan itu wajib dikeluarkan zakatnya. kedua pendapat tersebut, tidaklah bertentangan, karena kedua- duanya menyatakan bahwa saham itu, meskipun dengan pendekatan yang berbeda, termasuk kedalam sumber zakat.
Pendapat pertama, mengharuskan menggabungkannya dengan harta lain yang dimiliki pemegang saham, lalu dikeluarkan zakatnya, jika sudah mencapai nishab dan berlalu waktu satu tahun. Sedangkan pendapat kedua, secara langsung menyatakan bahwa saham termasuk sumber zakat, yaitu termasuk kedalam zakat perdagangan. Hal itu sesuai dengan hasil Muktamar Internasional Pertama tentang Zakat di Kuwait (29 Rajab 1404) yang menetapkan kewajiban zakat terhadap saham. Karena itu dari sudut hukum, saham termasuk kedalam harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, sesuai dengan nash yang bersifat umum seperti dalam surat al-Baqarah: 267 yang mewajibkan semua harta yang dimiliki untuk dikeluarkan zakatnya.
Semua saham perusahaan atau perseroan, baik yang terjun dalam bidang perdagangan murni maupun dalam bidang perindustrian dan lain-lain, wajib dizakati menurut kurs pada waktu mengeluarkan zakatnya, sebab saham-saham itu sendiri adalah surat-surat berharga yang bisa diperjualbelikan dan kursnya bisa diketahui dengan mudah di Bursa Efek, dan dengan sendirinya zakatnya 2,5 % setahun seperti zakat perdagangan.
Zakat Obligasi
Obligasi adalah pinjaman tetap yang diharapkan bisa dikembalikan lagi kepada orang-orang kaya dan para pemilik modal, dimana sebagai tanda buktinya mereka menerima surat-surat obligasi dalam kedudukan mereka sebagai kreditor, bukan sebagai sekutu pemegang saham.
Obligasi mempunyai ciri khusus yang berbeda dari piutang, karena obligasi bertumbuh dan memberikan kepada pemberi pinjaman itu bunga, sekalipun bunga itu haram. Haramnya bunga tidak bisa dijadikan alasan untuk membebaskan pemilik obligasi dari kewajiban membayar zakat. Meskipun demikian, yang menarik adalah bahwa sebagian ulama, walaupun sepakat akan haramnya bunga, tetapi mereka tetap menyatakan bahwa obligasi adalah salah satu objek atau sumber zakat dalam perekonomian modern ini.
Terlepas dari pendapat mengenai halal atau haramnya obligasi, para Fuqoha sepakat bahwa harta haram yang tidak diizinkan oleh Syara’ pun wajib dikeluarkan zakatnya. Mengenai hal obligasi tersebut diatas, Muhammad Abu Zahrah mengemukakan pendapatnya, jika obligasi itu kita bebaskan dari zakat dengan alasan ia bercampur dengan dengan barang haram, maka akibatnya orang lebih suka memanfaatkan obligasi dari pada saham guna menghindari adanya kewajiban zakat.
Menenai zakat obligasi ini, selama si pemilik obligasi belum dapat mencairkan uang obligasinya, karena belum jatuh temponya atau belum mendapat undiannya, maka ia tidak wajib menzakatinya, sebab obligasi adalah harta yang tidak dimiliki secara penuh, karena masih hutang, belum ditangan pemiliknya. Namun apabila sudah dapat dicairkan uang obligasinya, maka wajib segera dizakatinya sebanyak 2,5 %.
Zakat Investasi Properti (pabrik, gedung, dan yang sejenisnya)
Pada saat sekarang ini, jenis kekayaan berkembang sudah begitu banyak, diantara jenis kekayaan yang sekarang berkembang adalah gedung-gedung untuk disewakan, pabrik-pabrik yang dimaksudkan untuk memproduksi, kendaraan-kendaraan untuk mengangkut penumpang dan barang, dan lain sebagainya baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
Wahbah Zuhayliy dalam al-Fiqh al-Islamy wa ’Adillatuhu, menyatakan bahwa, modal dalam bentuk uang tidak hanya dikonsentrasikan pada pengolahan tanah dan perdagangan, akan tetapi sudah diarahkan kepada pendirian bangunan-bangunan untuk disewakan, pabrik-pabrik, sarana transportasi udara, laut dan darat, dan sebagainya.
Dalam penetapan wajibnya zakat atas investasi properti, para ulama berbeda pendapat, ada yang mewajibkan dan adapula yang tidak mewajibkan. Yusuf Qardawi sepakat memasukkan pabrik dan gedung kedalam kategori kekayaan bertumbuh yang wajib zakat karena didasarkan atas landasan syari’at yang benar, yaitu analogi (qiyas).
Mengenai pelaksanaannya, Didin Hafiduddin sepakat dengan pendapat para ulama yang menganalogikan sumber zakat tersebut pada zakat perdagangan, karena kegiatan menyewakan gedung, alat transportasi, dan yang lainnya, merupakan kegiatan perdagangan yang bertujuan mencari keuntungan. Karena dianalogikan pada zakat perdagangan, maka nishabnya adalah senilai 85 gram emas, dengan kadar zakatnya sebesar 2,5 % dari hasil sewa menyewa tersebut, setelah dikurangi berbagai biaya yang diperlukan, dan dikeluarkan zakatnya setahun sekali.
Daftar Rujukan
Undang-Undang RI No. 38 Tahun 1993 tentang Pengelolaan Zakat.
Fatwa MUI No. 3 Tahun 2003 tentang Zakat Penghasilan Mursyidi, Akuntansi Zakat Kontemporer, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet. ke-1,2003, hlm. 94.
Undang Undang RI No. 38 Tahun 1999Syauqi Ismail Syahhatih, Penerapan Zakat Dalam Dunia Modern, Terj. Anshori Umar Sitanggal, Jakarta: Pustaka Dian dan Antar Kota, Cet. ke-1, 1987, hlm. 181.
Yusuf Qardawi, Fiqhus Zakat, Terj. Salman Harun, et.al., Hukum Zakat, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, Cet. ke-10, 2007.
Wahbah al-Zuhayliy, Al-Fiqh al-Islami Wa ’Adilla,Terj. Agus Efendi dan Bahrudin Fanani ‘‘Zakat Kajian Berbagai Mazhab’’, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, Cet. ke-1, 2000.
Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani Press, Cet. ke-1, 2002.