penggunaan-hadis-dalam-majelis-tarjih-muhammadiyah

Muhammadiyah merupakan objek penelitian yang strategis, memunculkan puluhan atau bahkan ratusan kajian keislaman tentang gerakan pembaharuan ( secara organisatoris ) islam di indonesia. Sebagai gerakan keagamaan yang berwatak sosio-kultural, dalam dinamika kesejarahannya selalu berusaha merespon berbagai perkembangan kehidupan dengan senantiasa merujuk pada ajaran Islam (al-ruj’û ilâ al-Qurân wa al-sunnah, menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagi sumber rujukan). Di satu sisi sejarah selalu melahirkan berbagai persoalan, dan pada sisi yang lain Islam menyediakan referensi normatif atas berbagai persoalan tersebut. Orientasi pada dimensi ilahiah inilah yang membedakan Muhammadiyah dari gerakan sosio-kultural lainnya, baik dalam merumuskan masalah, menjelaskannya maupun dalam menyusun kerangka operasional penyelesaiannya. Orientasi inilah yang mengharuskan Muhammadiyah memproduksi pemikiran, meninjau ulang dan merekonstruksi pemikiran keislamannnya.

Pemikiran keislaman meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan tuntunan kehidupan keagamaan secara praktis, wacana moralitas publik dan discourse (wacana) keislaman dalam merespon dan mengantisipasi perkembangan kehidupan manusia. Masalah yang selalu hadir dari kandungan sejarah tersebut mengharuskan adanya penyelesaian. Sudah barang tentu untuk menyelesaikan permasalahan – permasalahan yang ada diperlukan berbagai macam perangkat; misalnya bahasa arab, dan lainnya agar lebih mudah menemukan makna yang terkandung dalam al-Qur’an dan hadis Nabi SAW. Sumber ajaran islam yang kedua inilah yang banyak menimbulkan khilafiyah baik di kalangan ulama maupun ormas – ormas islam khususnya yang ada di indonesia.

Dalam makalah ini, penulis mencoba mengeksplore wacana studi hadis di PP Muhammadiyah, lebih spesifik pada bagaimana hadis – hadis tersebut dapat di jadikan hujjah atau dalil, dan dapat diamalkan dalam kehidupan sehari –hari.

Kehujjahan hadis dalam Majelis Tarjih Muhammadiyah

Dalam menggunakan hadis, muhammadiyah menerapkan beberapa kaidah yang telah menjadi putusan majlis tarjih diantaranya sebagai berikut ;

v Hadis mauquf tidak dapat dijadikan hujjah, yang dimaksud dengan hadis mauquf ialah apa yang disandarkan kepada shahabat baik yang berupa ucapan, maupun perbuatan semacamnya, baik yang bersambung atau tidak.

v Hadis mauquf yang dihukum marfu’ dapat dijadikan sebagi hujjah. Dengan syarat apabila ada qarinah yang dapat dipahami dari padanya bahwa hadis itu marfu’.

v Hadis mursal shahabi dapat dijadikan hujjah, apabila ada qarianah yang menunjukkan persambungan sanadnya.

v Hadis mursal Tabi’i semata, tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali ada qarinah yang menunjukkan persambungan sanad sampai kepada Nabi.

v Hadis – hadis dha’if yang kuat menguatkan tidak bisa menjadi hujjah. kecuali jika diriwayakan oleh banyaknya jalur periwayatan, ada qarinah yang dapat dijadikan hujjah dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis shahih.

v Dalam menilai perawi hadis, jarh didahulukan dari pada ta’dil setelah adanya keterangan yang mu’tabar berdasarkan alasan syara’.

v Periwayatan orang yang dikenal melakukan tadlis dapat diterima riwayatnya, jika ada petunjuk bahwa hadis itu muttashil, sedangkan tadlis tidak mengurangi keadilan.

Metode Pemahaman Islam Dalam Muhammadiyah

Muhammadiyah dalam memahami dan mengamalkan islam berdasarkan al-Qur’an dan sunah rasul dengan menggunakan akal pikiran sesuai dengan ajaran islam. Bagi muhammadiyah, memahami islam secara benar sangatlah menentukan untuk beragama secara benar pula. Apabila faham tentang islam itu tidak benar, maka tidak akan menangkap hakekat dan citra ajaran islam yang benar, sehingga berpengaruh pada benruk pengamalannya dalam kehidupan. Secara khusus, pemahaman islam dalam muhammadiyah, dapat dikaji dalam Pokok-pokok Manhaj Majlis Tarjih ( disertai keterangan singkat ) yang telah dilakukan dalam menetapkan keputusan sebagai berikut :

1) Di dalam beristidlal, dasar utamanya adalah al Qur’an dan al Sunnah al Shohihah. Ijtihad dan istinbath atas dasar illah terhadap hal-hal yang tidak terdapat dalam nash , dapat dilakukan. Sepanjang tidak menyangkut bidang ta’abbudi, dan memang hal yang diajarkan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dengan perkataan lain, Majlis Tarjih menerima Ijitihad , termasuk qiyas, sebagai cara dalam menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secara langsung. ( Majlis tarjih di dalam berijtihad menggunakan tiga macam bentuk ijtihad : Pertama : Ijtihad Bayani : yaitu ( menjelaskan teks Al Quran dan hadits yang masih mujmal, atau umum, atau mempunyai makna ganda , atau kelihatan bertentangan, atau sejenisnya), kemudian dilakukan jalan tarjih. Sebagai contohnya adalah Ijtihad Umar untuk tidak membagi tanah yang di taklukan seperti tanah Iraq, Iran , Syam, Mesir kepada pasukan kaum muslimin, akan tetapi dijadikan “Khoroj” dan hasilnya dimasukkan dalam baitul mal muslimin , dengan berdalil Qs Al Hasyr ; ayat 7-10. Kedua : Ijtihad Qiyasi : yaitu penggunaan metode qiyas untuk menetapkan ketentuan hukum yang tidak di jelaskan oleh teks Al Quran maupun Hadist, diantaranya : men qiyaskan zakat tebu, kelapa, lada ,cengkeh, dan sejenisnya dengan zakat gandum, beras dan makanan pokok lainnya, bila hasilnya mencapai 5 wasak ( 7,5 kwintal ) Ketiga : Ijtihad Istishlahi : yaitu menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secara khusus dengan berdasarkan illat , demi untuk kemaslahatan masyarakat, seperti ; membolehkan wanita keluar rumah dengan beberapa syarat, membolehkan menjual barang wakaf yang diancam lapuk, mengharamkan nikah antar agama dll

2) Dalam memutuskan sesuatu keputusan , dilakukan dengan cara musyawarah. Dalam menetapkan masalah ijtihad, digunakan sistem ijtihad jama’I. Dengan demikian pendapat perorangan dari anggota majlis, tidak dipandang kuat.( Seperti pendapat salah satu anggota Majlis Tarjih Pusat yang pernah dimuat di dalam majalah Suara Muhammadiyah, bahwa dalam penentuan awal bulan Ramadlan dan Syawal hendaknya menggunakan Mathla’ Makkah. Pendapat ini hanyalah pendapat pribadi sehingga tidak dianggap kuat. Yang diputuskan dalam Munas Tarjih di Padang Oktober 2003, bahwa Muhammadiyah menggunakan Mathla’ Wilayatul Hukmi )

3) Tidak mengikatkan diri kepada suatu madzhab, akan tetapi pendapat-pendapat madzhab, dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan hukum. Sepanjang sesuai dengan jiwa Al Qur’an dan al – Sunnah, atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat. ( Seperti halnya ketika Majlis Tarjih mengambil pendapat Mutorif bin Al Syahr di dalam menggunakan Hisab ketika cuaca mendung, yaitu di dalam menentukan awal bulan Ramadlan. Walaupun pendapatnya menyelisihi Jumhur Ulama. Sebagai catatan : Rumusan di atas,menunjukkan bahwa Muhammadiyah, telah menyatakan diri untuk tidak terikat dengan suatu madzhab, dan hanya menyandarkan segala permasalahannya pada Al-Qur’an dan Hadits saja. Namun pada perkembangannya, Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan yang mempunyai pengikut cukup banyak, secara tidak langsung telah membentuk madzhab sendiri, yang disebut “ Madzhab Muhammadiyah “, ini dikuatkan dengan adanya buku panduan seperti HPT ( Himpunan keputusan Tarjih ).

4) Berprinsip terbuka dan toleran dan tidak beranggapan bahwa hanya majlis Tarjih yang paling benar. Keputusan diambil atas dasar landasan dalil- dalil yang dipandang paling kuat, yang di dapat ketika keputusan diambil. Dan koreksi dari siapapun akan diterima. Sepanjang dapat diberikan dalil-dalil lain yang lebih kuat. Dengan demikian, Majlis Tarjih dimungkinkan mengubah keputusan yang pernah ditetapkan. ( Seperti halnya pencabutan larangan menempel gambar KH. Ahamd Dahlan karena kekawatiran tejadinya syirik sudah tidak ada lagi , pencabutan larangan perempuan untuk keluar rumah dll)

5) Di dalam masalah aqidah ( Tauhid ) , hanya dipergunakan dalil-dalil mutawatir. ( Keputusan yang membicarakan tentang aqidah dan iman ini dilaksanakan pada Mukatamar Muhammadiyah ke- 17 di Solo pada tahun 1929. Namun rumusan di atas perlu ditinjau ulang. Karena mempunyai dampak yang sangat besar pada keyakinan sebagian besar umat Islam, khususnya kepada warga Muhammadiyah. Hal itu, karena rumusan tersebut mempunyai arti bahwa Persyarikatan Muhammadiyah menolak beratus-ratus hadits shohih yang tercantum dalam Kutub Sittah, hanya dengan alasan bahwa hadits ahad tidak bisa dipakai dalam masalah aqidah. Ini berarti juga, banyak dari keyakinan kaum muslimin yang selama ini dipegang erat akan tergusur dengan rumusan di atas, sebut saja sebagai contoh : keyakinan adanya adzab kubur dan adanya malaikat munkar dan nakir, syafa’at nabi Muhammad saw pada hari kiamat, sepuluh sahabat yang dijamin masuk syurga, adanya timbangan amal, ( siroth )jembatan yang membentang di atas neraka untuk masuk syurga, ( haudh ) kolam nabi Muhammad saw, adanya tanda- tanda hari kiamat sepeti turunnya Isa, keluarnya Dajjal. Rumusaan di atas juga akan menjerat Persyarikatan ini ke dalam kelompok Munkiru al-Sunnah , walau secara tidak langsung.

6) Tidak menolak ijma’ sahabat sebagai dasar suatu keputusan. ( Ijma’ dari segi kekuatan hukum dibagi menjadi dua , pertama : ijma’ qauli, seperti ijma’ para sahabat untuk membuat standarisasi penulisan Al Qur’an dengan khot Utsmani, kedua : ijma’ sukuti. Ijma’ seperti ini kurang kuat. Dari segi masa, Ijma’ dibagi menjadi dua : pertama : ijma’ sahabat. Dan ini yang diterima Muhammadiyah. Kedua ; Ijma’ setelah sahabat )

7) Terhadap dalil-dalil yang nampak mengandung ta’arudl, digunakan cara “al jam’u wa al taufiq “. Dan kalau tidak dapat , baru dilakukan tarjih. ( Cara-cara melakukan jama’ dan taufiq, diantaranya adalah : Pertama : Dengan menentukan macam persoalannya dan menjadikan yang satu termasuk bagian dari yang lain. Seperti menjama’ antara QS Al Baqarah 234 dengan QS Al Thalaq 4 dalam menentukan batasan iddah orang hamil , Kedua : Dengan menentukan yang satu sebagai mukhashis terhadap dalil yang umum, seperti : menjama’ antara QS Ali Imran 86,87 dengan QS Ali Imran 89, dalam menentukan hukum orang kafir yang bertaubat, seperti juga menjama’ antara perintah sholat tahiyatul Masjid dengan larangan sholat sunnah ba’da Ashar, Ketiga: Dengan cara mentaqyid sesuatu yang masih mutlaq , yaitu membatasi pengertian yang luas, seperti menjama; antara larangan menjadikan pekerjaan membekam sebagai profesi dengan ahli bekam yang mengambil upah dari pekerjaanya. Keempat: Dengan menentukan arti masing-masing dari dua dalil yang bertentangan, seperti : menjama’ antara pengertian suci dari haid yang berarti bersih dari darah haid dan yang berarti bersih sesudah mandi. Kelima : Menetapkan masing-masing pada hukum masalah yang berbeda, seperti larangan sholat di rumah bagi yang rumahnya dekat masjid dengan keutamaan sholat sunnah di rumah.

8) Menggunakan asas “ saddu al-daraI’ “ untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah. .( Saddu al dzara’I adalah perbuatan untuk mencegah hal-hal yang mubah, karena akan mengakibat kepada hal-hal yang dilarang. Seperti : Larangan memasang gambar KH. Ahmad Dahlan, sebagai pendiri Muhammadiyah, karena dikawatirkan akan membawa kepada kemusyrikan. Walaupun akhirnya larangan ini dicabut kembali pada Muktamar Tarjih di Sidoarjo, karena kekawatiran tersebut sudah tidak ada lagi. Contoh lain adalah larangan menikahi wanita non muslimah ahli kitab di Indonesia, karena akan menyebabkan finah dan kemurtadan. Keputusan ini ditetapkan pada Muktamar Tarjih di Malang 1989.

9) Men-ta’lil dapat dipergunakan untuk memahami kandungan dalil- dalil Al Qur’an dan al Sunnah, sepanjang sesuai dengan tujuan syare’ah. Adapun qaidah : “ al hukmu yaduuru ma’a ‘ilatihi wujudan wa’adaman” dalam hal-hal tertentu , dapat berlaku “ ( Ta’lil Nash adalah memahami nash Al Qur’an dan hadits, dengan mendasarkan pada illah yang terkandung dalam nash. Seperti perintah menghadap arah Masjid Al Haram dalam sholat, yang dimaksud adalah arah ka’bah, juga perintah untuk meletakkan hijab antara laki-laki dan perempuan, yang dimaksud adalah menjaga pandangan antara laki-laki dan perempuan, yang pada Muktamar Majlis Tarjih di Sidoarjo 1968 diputuskan bahwa pelaksanaannya mengikuti kondisi yang ada, yaitu pakai tabir atau tidak, selama aman dari fitnah )

10) Pengunaaan dalil- dalil untuk menetapkan suatu hukum , dilakukan dengan cara konprehensif , utuh dan bulat. Tidak terpisah. ( Seperti halnya di dalam memahami larangan menggambar makhluq yang bernyawa,jika dimaksudkan untuk disembah atau dikawatirkan akan menyebabkan kesyirikan )

11) Dalil –dalil umum al Qur’an dapat ditakhsis dengan hadist Ahad, kecuali dalam bidang aqidah. ( Lihat keterangan dalam point ke 5 )

12) Dalam mengamalkan agama Islam, mengunakan prinsip “Taisir “ ( Diantara contohnya adalah : dzikir singkat setelah sholat lima waktu, sholat tarawih dengan 11 rekaat )

13) Dalam bidang Ibadah yang diperoleh ketentuan- ketentuannya dari Al Qur’an dan al Sunnah, pemahamannya dapat dengan menggunakan akal, sepanjang dapat diketahui latar belakang dan tujuannya. Meskipun harus diakui ,akal bersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nash daripada akal memiliki kelenturan dalam menghadapai situsi dan kondisi. ( Contohnya, adalah ketika Majlis Tarjih menentukan awal Bulan Ramadlan dan Syawal, selain menggunakan metode Rukyat,juga menggunakan metode al Hisab. Walaupun pelaksanaan secara rinci terhadap keputusan ini perlu dikaji kembali karena banyak menimbulkan problematika pada umat Islam di Indonesia )

14) . Dalam hal- hal yang termasuk “al umur al dunyawiyah” yang tidak termasuk tugas para nabi , penggunaan akal sangat diperlukan, demi kemaslahatan umat.

15) Untuk memahami nash yang musytarak, paham sahabat dapat diterima.

16) Dalam memahami nash , makna dlahir didahulukan dari ta’wil dalam bidang aqidah. Dan takwil sahabat dalam hal ini, tidak harus diterima. ( Seperti dalam memahami ayat-ayat dan hadist yang membicarakan sifat-sifat dan perbuatan Allah swt,seperti Allah bersemayam d atas Arsy, Allah turun ke langit yang terdekat dengan bumi pada sepertiga akhir malam dll

Contoh Pemahaman Hadis dalam Putusan Majlis Tarjih Muhammadiyah

MASALAH KELUARGA BERENCANA

Mu’tamar Majlis Tarjih Muhammadiyah:

1. Prasaran tentang keluarga berencana dikemukakan oleh sdr, Dr. H. Kusnadi dan H. Djarnawi Hadikusuma.

2. Pembahasan-pembahasan daripada Mu’tamirin.

Berdasarkan pada

1. Firman Allah :

وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَةِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ

“Dan Allah telah menjadikan bagimu beberapa jodoh dari kamu dan telah menjadikan bagimu anak-anak dan cucu-cucu dari perjodohanmu serta memberikan kamu rezeki yang baik-baik. Apakah mereka percaya (menggunakan) kepada barang-barang yang batal sedang dengan kenikmatan Allah mereka sama inkar?” (Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 72).

2. Sabda Rasulullah :

تَزَوَّجُوا الْوَلُودَ الْوَدُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ كم الانبياء يوم القيامة ( رواه احمد وصححه ابن حبان , وله شاهدعند ابي داودو النسائي,وابن حبان ايضا من حديث معقل لن يسار )

Dari Anas r.a Nabi bersabda: “Berkawinlah kamu kepada wanita yang berbakat banyak anak yang penyayang; sesungguhnya aku merasa bangga akan banyaknya jumlahmu terhadap para Nabi kelak di hari Qiyamat. (Diriwayatkan oleh Ahmad dan dishahihkan oleh Ibnu Habban. Dan kesaksian hadits ini ada pada Abu Dawud. Nasai dan Ibnu Hibban juga dari Ma’qil bin Yasar).

الحديث: إنك أن تذر ورثتك أغنياء خير من أن تذرهم عالة
يتكففون الناس {متفق عليه}

Dan hadits bahwasannya lebih baik kamu tinggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, daripada kamu tinggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, daripada kamu tinggalkan mereka yang menjadi beban yang mintaminta kepada orang banyak. (Muttafaq ‘alaih atau diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).

الحديث: عن أبي هريرةقال: قال رسول الله صلعم: المؤمن
القوي خير وأحب إلى الله من المؤمن الضعيف {أخرجه مسلم}

Hadist dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “ Orang Mu’min yang kuat itu lebih baik dan lebih disayang oleh Allah, daripada orang Mu’min yang lemah. (Diriwayatkan oleh Mukmin).

Berkesimpulan :

1. Bahwa menurut ajaran Islam, maksud perkawinan itu antara lain untuk memperoleh keturunan.
2. Bahwa Islam mengajarkan untuk memperbanyak keturunan.
3. Bahwa Islam menganjurkan agar kehidupan anak keturunan jangan sampai terlantar sehingga menjadi beban tanggungan orang lain.

Memutuskan :

1. Mencegah kehamilan adalah berlawanan dengan ajaran agama Islam. Demikian pula keluarga berencana yang dilaksanakan dengan cegahan kehamilan.
2. Dalam keadaan darurat dibolehkan sekedar perlu dengan syarat persetujuan suami-istri dan tidak mendatangkan mudlarat jasmani dan rohani.

PENJELASAN DARI MAJLIS TARJIH

1. Ayat Qur’an dan Hadits-hadits yang disebut dalam konsideran: menjadi pengantar konsideran berikutnya.

2. Keseimbangan antara maksud perkawinan untuk memperoleh keturunan, anjuran untuk memperbanyak keturunan, berusaha agar anak keturunan kita jangan menjadi beban orang lain dan berusaha agar ummat Islam merupakan ummat yang kuat, menjadi kebulatan pandangan dalam perumusan keputusan Keluarga Berencana.

3. Anjuran memperbanyak keturunan sebagaimana disebutkan dalam hadits : “Berkawinlah kamu kepada wanita yang berbakat banyak anak……. Seterusnya hadits dari Anas tersebut di atas”, diartikan merupakan anjuran untuk ummat Islam sebagai ummat, bukan sebagai individu. Hingga setiap individu masih dapat mempertimbangkan situasinya, apakah padanya ada kemampuan untuk melaksanakan anjuran tersebut, ataukah tidak.

4. Pencegahan kehamilan yang dianggap berlawanan dengan ajaran Islam ialah ; sikap dan tindakan dalam perkawinan yang dijiwai oleh niyat segan mempunyai keturunan, atau dengan cara merusak/merobah organisme yang bersangkutan, seperti: memotong, mengikat dan lain-lain.

5. Penjarakan kehamilan dapat dibenarkan sebagai kondisi dlarurat atas dasar kesehatan dan pendidikan dengan persetujuan suami-isteri dengan pertimbangan dokter ahli dan ahli agama.

6. Yang dimaksud dalam kriteria darurat ialah :

d. Mengkhawatirkan keselamatan jiwa atau kesehatan ibu karena mengadung atau melahirkan, bila hal itu diketahui dengan pengalaman atau keterangan dokter yang dapat dipercaya seseuai dengan ajaran ayat/firman Allah :

{ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ {البقرة أية 195

1. Janganlah kamu menjerumuskan dirimu dalam kerusakan (Al- Qur’an surat Baqarah ayat 195).

{ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ آَانَ بِكُمْ رَحِيمًا {النساء: 29

2. Dan janganlah kamu bunuh diri-dirimu, sesungguhnya Allah itu kasih saying kepada kamu. (Al-Qur’an surat Nisa’ayat 22).

e. Mengkhawatirkan keselamatan agama, akibat faktor-faktor kesempitan penghidupan, seperti kekhawatiran akan terseret menerima hal-hal yang haram atau menjalankan/melanggar larangan karena terdorong oleh kepentingan anak-anak, sejalan dengan firman Allah saw dan hadits Nabi:

{ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ {البقرة: 185

1. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu. (Al-Qur’an surat Baqarah ayat 185).

{ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ {المائدة: 6

2. Tidaklah Allah menghendaki membuat kesusahan atas kamu sekalian. (Al-Quran surat Maidah ayat 6).

آاد الفقر أن يكون آفرا {رواه أبو نعيم فى الحلية عن أنس}

3. Kafakiran itu mendekati kekafiran. (Diriwayatkan oleh Abu Na’im dalam kitab Hilyah dari Anas).

f. Mengkhawatirkan kesehatan atau pendidikan anak-anak bila jarak

kelahiran terlalu rapat.

الحديث: الضرر ولا ضرار {رواه أحمد وإبن ماجه عن إبن
عباس، ورواه إبن ماجه عن عبادة}

Jangan bahayakan (dirimu) dan jangan membahayakan (orang lain). (Hadits Hasan diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Majah dari Ibnu ‘Abbas oleh Ibnu Majah dari ‘Ubbadah).

7. Pertimbangan dlarurat bersifat individu dan tidak dibenarkan keluarnya Undang-Undang, sebab akan bersifat memaksa. Oleh karenanya, persutujuan bulat antara suami-isteri benar-benar diperlukan.

Kesimpulan Dan Penutup

Dari uraian singkat diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam menetapkan sebuah hukum muhammadiyah meletakkan al-qur’an sebagai sumber primer ( utama ) kemudian diikiuti hadis Nabi. Akal fikiran / ra’yu merupakan sebuah alat untuk :

Ø Mengungkap dan mengetahui kebenaran yang terkandung dalam al-qur’an dan sunah rasul.

Ø Mengetahui maksud – maksud yang tercakup dalam pengertian al-qur’an dan sunah rasul. Sedang untuk mencari cara dan jalan melaksanakan ajaran al-qur’an dan sunah rasul dalam mengatur dunia guna memakmurkannya, akal ikiran yang dinamis dan progresif mempunyai peranan yang penting dan lapangan yang luas. Begitu pula akal pikiran bisa untuk mempertimbangkan seberapa jauh pengaruh keadaan dan waktu terhadap penerapan suatu ketentuan hukum dalam batas maksud – maksud pokok ajaran islam.

Akhirnya, selesai sudah makalah ini ditulis . Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak Dr. Agung Danarta,M.Ag selaku pengampu mata kuliah kajian hadis di Indonesia. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh untuk dikatakan sempurna, oleh karenanya, kritik dan saran pembaca sangat kami harapkan guna perbaikan makalah selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

DEPAG, Alqur’an dan terjemahannya
Mu’arif, meruwat muhammadiyah ; kritik seabad pembaruan islam di indonesia ( Yogyakarta : Nuansa Aksara, 2005 )
Djamil, Fathurahman, Dr. H, Metode ijtihat majlis tarjih muhammadiyah, ( Jakarta : logos publishing house, 1995 )
Materi induk perkaderan muhammadiyah ( yogyakarta : Badan Pendidikan Kader Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 1994 )
Pimpinan pusat muhammadiyah, himpunan putusan majlis tarjih muhammadiyah ( Yogyakarta, tth )
Sazali, Muhammadiyah & Masyarakat Madani ; independensi, Rasionalitas, dan Pluralisme ( Jakarta: Pusat Studi Agama Dan Peradaban Muhammadiyah, 2005 )

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *