Tongkrongan Islami – Islam merupakan agama rahmatan lil’alamin, agama yang sangat menjamin kesejahteraan bagi alam semesta pada umumnya dan bagi para pemeluknya pada khususnya. Disamping itu agama Islam juga mempunyai hukum yang fleksibel dan cukup lentur yang ditetapkan sesuai dengan kemampuan pemeluknya, namun bukan berarti hal tersebut boleh menjadikan manusia ( umat Islam ) memandang remeh terhadap hukum yang dibebankan terhadapnya.
Salah satu fleksibilitas hukum Islam yang diberikan kepada pemeluknya adalah berupa “ shalat jama’ “. Apabila para pemeluknya mampu melaksanakan sesuai dengan ketetapan yang berlaku, maka hal tersebutlah idealnya yang harus dikerjakan. Namun sebagai manusia biasa kadang-kadang mempunyai udzur yang memaksa manusia tidak mampu menjalankan kewajiban yang telah dibebankan baginya, sebagaimana mestinya, malah ada jalan keluar.
Demikian juga dalam melaksanakan shalat fardhu alangkah idealnya jika shalat tersebut dikerjakan sesuai dengan aturan waktunya. Tetapi apabila ada halangan yang menyebabkan harus mengerjakan dengan menggunakan keringanan-keringanan yang tidak menjadi kebiasaan, seperti shalat jama’ dan shalat qashar, maka boleh dikerjakan. Adapun sebab-sebab yang memperbolehkan shalat di jama’ adalah :
Shalat Dijamak Karena Bepergian (Musafir)
Bepergian adalah melakukan perjalanan ketempat lain yang hendak dituju karena ada sesuatu kepentingan .
Menjama’ dua shalat ketika bepergian, pada salah satu waktu dari kedua shalat itu, menurut sebagian besar para ahli hukumnya boleh, tanpa ada perbedaan, apakah dilakukannya sewaktu berhenti, ataukah selagi dalam perjalanan.
Sebagaimana dalam hadits: Dari Muadz ,” bahwasannya Nabi saw dalam perang tabuk, apabila beliau berangkat sebelum tergelincir matahari, beliau menta’khirkan shalat Zhuhur hingga beliau kumpulkan dengan shalat Ashar, beliau gabungkaan keduanya ( Zhuhur dan Ashar) waktu Ashar, dan apabila berangkat sesudah tergelincir matahari, beliau kerjakan shalat Zhuhur dan Ashar sekaligus, kemudian beliau berjalan. Dan apabila beliau berangkat sebelum Maghrib, beliau menta’khirkan Maghrib hingga beliau melakukan shalat Maghribbeserta Isya’ dan apabila beliau berangkat sesudah waktu Maghrib beliau segerakan shalat Isya’ dan beliau menggabungkan shalat Isya’ bersama Maghrib.(HR. Abu Daud )
Adapun bepergian yang mendapat kemudahan untuk menjama’ shalat adalah bepergian yang telah memenuhi kriteria shalat qashar, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Al-Muhadzab yang berbunyi: Diperbolehkan menjama’ shalat antara dua shalat yaitu shalat Zhuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya’ dalam satu perjalanan yang bisa untuk mengqashar shalat “.
Kemudian dalam kitab Al-Fiqh Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah disebutkan pula sebagai berikut : Boleh menjama’antara dua shalat, baik itu jama’ taqdim jama’ ta’khir bagi para musafir dengan syarat –syarat tertentu (bepergian ) “. Akan tetapi bagi musafir yang telah ditentukan untuk mengqashar shalat, telah terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama’. Sebab-sebab terjadi perbedaan pendapat tersebut adalah karena perbedaan mereka dalam memahami kata “ safar “.
Jika yang dimaksud qashar yang dikaitkan atau diakibatkan oleh adanya bepergian, maka yang dijadikan ukuran bagi seseorang dalam mengqashar shalat adalah masyaqat (kesusahan ). Sehingga shalat qashar boleh dikerjakan apabila terdapat kesusahan seperti yang dituturkan oleh Ibnu Rusyd sebagai berikut: Demikian itu bahwa logikanya dari pengaruh yang diakibatkan oleh bepergian, disebabkan merupakan tempat yang adanya kesusahan seperti pengaruh bepergian dalam masalah puasa, jika begitu halnya maka diwajibkan qashar sekiranya ada masyaqat”.
Sedangkan mereka yang memahami kata “ safar “ secara tekstual, maka setiap orang yang menyandang predikat sebagai musafir diperbolehkan mengqashar shalat: setiap orang bepergian boleh melakukan shalat qhasar “.
Disamping hal tersebut diatas, adanya sesuatu perbedaan pula dari para sahabat dalam meriwayatkan hadits yang berkaitan dengan batas mengenai shalat qashar.
Hadits-hadits tersebut diantaranya: Dari Yahya bin Yazid Al-Hanafi telah berkata : saya bertanya kepada Anas bin Malik mengenai mengqashar shalat, kemudian Anas bin Malik berkata : Rasulullah saw ketika berjalan tiga mil atau tiga farsakh, beliau mengerjakan shalat dua rakaat “. (HR. Muslim )
Dari Anas telah berkata : saya pergi bersama Rasulullah saw dari madinah ke mekkah, maka beliau sekali mengqashar shalat hingga pulang dan berdiam diri dalam sepuluh hari ”. (HR. Imam Nasa’i )
Dengan adanya nash-nash yang berbeda tadi, maka lahirlah berbagai pendapat dalam menentukan jarak seseorang boleh mengerjakan shalat qashar. Perbedaan itu adalah :
- Menurut Imam Taqiyuddin:Jarak yang ditempuh adalah enam belas farsakh “.
- Menurut Sayyid Bakri: Bepergian jauh merupakan salah satu diantara beberapa persyaratan shalat qashar dan jama’ yaitu 48 mil “.
- Menurut Abu Hanifah: Bahwa jarak yang paling pendek untuk mengqashar shalat adalah perjalanan tiga hari “.
- Menurut Ahlu Zhahir: shalat qashar itu dalam setiap perjalanan baik dekat maupun jauh “.
Dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa seorang musafir boleh melakukan shalat qashar kalau sudah menempuh jarak enam belas farsakh. Dan setiap satu farsakh adalah tiga mil. Jadi enam belas farsakh ada 48 mil. Perjalanan tersebut sama dengan menempuh 80,5 km + 140 m, dengan menempuh perjalanan satu hari satu malam, sedangkan dalam kitab Syarh Al-Umdah ( menempuh perjalanan selama dua hari ).
Sedangkan Abu Hanifah mengatakan perjalanan yang memperbolehkan mengqasar shalat kalau sudah menempuh jarak perjalanan tiga hari. Jadi perjalanan dua hari atau lebih dikatakan perjalanan yang panjang. Kalau perjalanan yang kurang memenuhi dua hari tersebut ( perjalanan pendek ) maka tidak diperbolehkan mengqasar shalat. Hal ini sesuai pendapat kebanyakan fuqaha.
Disamping menentukan jarak tersebut, ada syarat lagi yang harus dipenuhi oleh musafir ketika ingin mengqasar shalat yaitu bepergiannya tidak untuk maksiat. Dan ketika seseorang bepergian untuk maksiat seperti bepergian untuk merampok, membunuh orang Islam, maka tidak boleh melakukan shalat qashar dan tidakmendapat kemurahan apapun dari kemurahan yang didapat oleh orang yang bepergian, karena kemurahan tidak diperbolehkan kalau bersang kutan dengan maksiat. Dan kebolehan kemurahan tersebut didalam bepergian untuk melakukan maksiat adalah menolong kepada kemaksiatan. Maka dari itu, tidak diperbolehkan melakukan shalat qashar.
Shalat Dijamak Karena Hujan
Seseorang diperbolehkan untuk meleksanakan shalat jama’ apabila dalam keadaan hujan. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari yang berbunyi: Sesugguhnya Nabi saw menjama’ shalat Maghrib dengan shalat Isya’ disuatu malam yang sedang hujan lebat “. (HR. Bukhari)
Dari Abdullah bin Ibnu Abbas berkata : bahwa Rasulullah saw pernah melakukan shalat Zhuhur dan shalat Ashar dengan menjama’nya, begitu pula halnya dengan shalat Maghrib dan shalat Isya’ dalam keadaan tidak takut dan tidak bepergian, Imam Malik berkata : saya berpendapat bahwa saat itu dalam keadaan hujan “. (HR. Malik)
Selanjutnya dalam kitab Al-Umm Imam Al-Syafi’i menyebutkan sebagai berikut: Tidak boleh seseorang untuk menjama’ shalat pada waktu yang pertama kecuali dalam keadaan hujan”.
Dengan demikian apabila seseorang bertujuan menjama’ shalat secara jama’ ta’khir yang disebabkan alasan adanya hujan, kemudian hujan itu berakhir sebelum tiba waktunya shalat yang kedua, berarti sebab rukhsah telah hilang dan sebagai akibatnya ialah telah melakukan shalat diluar waktunya.
Kesimpulan pendapat mazhab-mazhab mengenai soal ini adalah sebagai berikut :
- Golongan Syafi’i membolehkan seseorang mukim menjama’ shalat Zhuhur dengan shalat Ashar dan shalat Maghrib dengan shalat Isya’ secara taqdim saja, dengan syarat adanya hujan ketika membaca takbiratul ihram dalam shalat yang pertama sampai selesai, dan hujan masih turun ketika memulai shalat yang kedua.
- Menurut Maliki, boleh menjama’ taqdim dalam mesjid antara shalat. Maghrib dan shalat Isya’ disebabkan karena hujan yang telah atau akan turun, juga boleh dikerjakan karena banyak lumpur di tengah jalan dan malam yang gelap, hingga menyukarkan orang buat memakai terompah. Menjama’ shalat Zhuhur dan shalat Ashar karena hujan ini, dimakruhkan.
- Golongan hambali berpendapat bahwa boleh menjama’ shalat. Maghrib dengan shalat Isya’ saja, baik secara taqdim atau ta’khir, disebabkan adanya salju, lumpur,dingin yang sangat serta hujan yang membasahkan pakaian. Keringanan ini hanya khusus bagi orang yang bersembahyang jama’ah di mesjid yang datang dari tempat yang jauh, hingga dengan adanya hujan tersebut, ia terhalang dalam perjalanan. Bagi orang yang rumahnya di dekat mesjid atau yang bersembahyang jama’ah di rumah saja, atau ia dapat pergi ke mesjid dengan melindungi tubuh, maka tidak boleh menjama’ shalat.
- Golongan Hanafi berpendapat bahwa menjama’ shalat Zhuhur dengan shalat Ashar, shalat Maghrib dengan shalat Isya’ pada waktu hujan tidak diperbolehkan. Sedangkan menjama’ shalat Zhuhur dengan shalat Ashar, baik secara taqdim maupun ta’khir disebabkan karena hujan, juga tidak diperbolehkan.
Shalat dijamak Karena Sakit atau Udzur
Banyak sekali macam penyakit yang diderita oleh seseorang, akan tetapi hanya dari penyakit yang benar-benar sangat mengganggu bagi penderitanya, yang dapat rukhsah untuk menjama’ shalat. Dengan begitu tidak setiap orang yang sedang sakit mendapat rukhsah untuk menjama’ shalat.
Dasar kebolehan untuk melakukan shalat jama’ bagi seseorang yang sedang sakit adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim sebagai berikut: Yahya bin Yahya bercerita kepada saya dan berkata : saya menceritakan kepada Malik hadits dari Abu Zubair, dari Said bin Zubair, dari Ibnu Abbas berkata : Rasulullah SAW pernah menggabungkan antara shalat Zhuhur dan shalat Ashar ataupun Maghrib dan Isya’dalam satu waktu dalam keadaan tanpa rasa takut maupun sedang dalam perjalanan “. (HR. Muslim)
Dengan hadits tersebut nyatalah bahwa Nabi SAW mengerjakan shalat jama’ bukan karena sebab ketakutan dan bepergian. Karena bukan sebab-sebab tersebut, maka yang paling mendekati adalah sebab sakit. Karena pada dasarnya menjama’ shalat tidak disertai udzur tidak diperbolehkan, dan udzur yang ada pada hadits tersebut adalah sakit, karena tidak ada udzur lainnya selain udzur sakit tersebut.
Imam Ahmad, Qadhi Husein, Al-Khaththabi dan Al-Mutawalli dari golongan Syafi’i membolehkan menjama’ shalat baik taqdim maupun ta’khir disebabkan sakit, dengan alasan karena kesukaran di waktu itu lebih besar dari kesukaran di waktu hujan. Berkata Al-Nawawi : ” Dari segi alasan, pendapat ini adalah kuat “.
Dalam kitab Al-Mughni disebutkan bahwa sakit yang membolehkan menjama’ shalat ialah seandainya shalat-shalat itu dikerjakan pada waktu masing-masing akan menyebabkan kesulitan dan lemahnya badan.
Ulama Hambali memperluas keringanan ini, hingga menurut mereka boleh pula menjama’ baik taqdim maupun ta’khir karena berbagai macam halangan dan juga sedang dalam ketakutan. Mereka bolehkan orang yang sedang menyusui bila sukar untuknya buat mencuci kain setiap hendak shalat. Juga untuk wanita-wanita yang sedang istihadhah, orang yang ditimpa silsalatul baul ( kencing berkepanjangan ), orang yang tidak dapat bersuci, yang menguatirkan bahaya bagi dirinya pribadi, bagi harta dan kehormatannya., juga bagi orang yang takut mendapatkan rintangan dalam mata pencaharian sekiranya ia meninggalkan jama’.
Demikian pula kalau dibandingkan dengan dibolehkan menjama’ shalat dalam suatu perjalanan, dengan menjama’shalat karena suatu alasan sakit yang keduanya mempunyai ‘illat yang sama yaitu adanya masyakat ( kesukaran ), meskipun tidak merupakan syarat mutlak, akan tetapi keadaan kesukaran yang diakibatkan adanya rasa sakit itu pada umumnya lebih berat apabila disuruh untuk mengerjakan shalat setiap waktu tanpa menjama’nya, sehingga sudah sepatutnya bila diberi kelonggaran untuk mengerjakan shalat jama’. Hal ini sesuai dengan apa yang disebutkan oleh Ibnu Rusdy dalam kitabnya yang berbunyi: Demikian itu bahwa kesukaran orang yang sakit dalam mengerjakan shalat satu persatu akan lebih berat dari pada orang musafir “.
Shalat Dijamak Karena Nusuk
Setiap umat Islam yang merasa dirinya mampu baik secara fisik maupun non fisik, maka diwajibkan baginya untuk menunaikan rukun Islam yang kelima yaitu haji. Sedang pengertian haji adalah sengaja mengunjungi baitullah dengan melakukan amalan-amalan seperti wuquf, thawaf, sa’i, dan lain-lain, serta melakukan amalan-amalan ibadah lainnya selama waktu tertentu demi menunaikan perintah Allah SWT.
Para ulama telah sepakat tentang dibolehkan melakukan shalat jama’ antara shalat Zhuhur dengan shalat Ashar sebagai jama’ taqdim di Padang Arafah, dan antara shalat Maghrib dengan shalat Isya’ sebagai jama’ ta’khir di Muzdalifah.
Bahkan dikalangan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa jama’ merupakan kesunahan, seperti yang tercantum dalam kitab Al-Fiqh Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah yang berbunyi sebagai berikut: Tetapi disunnahkan melakukan shalat jama’ ketika orang yang pergi haji itu berada di Arafah atau Mudzalifah “.