“Back to al-Qur’ān dan Hadīts”. Jargon ini sepertinya sudah tidak asing lagi tidak di telinga kita. Wacana untuk kembali kepada sumber utama ummat islam (baca: al-Qur’ān dan Hadīts) telah sekian lama didengung-dengungkan oleh beberapa kelompok keagamaan yang –tentunya- beratas-namakan islam.
Hal ini menjadi diskursus yang tengah berkembang dan sangat kontroversial dimana islam sebagai sebuah agama, ajarannya harus tetap murni tanpa ada “campur tangan” tradisi dan budaya masyarakat. Sedangkan beberapa kelompok keagamaan tertentu yang justru menjadikan tradisi dan budaya sebagai sesuatu yang tidak harus dan tidak dapat dihilangkan dari masyarakat, namun kita hanya perlu memasukkan ajaran islam kedalamnya agar budaya tersebut juga memiliki nilai-nilai islami.
Pemurnian kembali atas ajaran-ajaran agama islam di Indonesia sendiri dilakukan oleh sebuah organisasi yang bernama Persatuan Islam. Sebuah organisasi yang bergerak dalam bidang dakwah dan pendidikan.
Kehadiran Persis sendiri tidak lepas dari munculnya praktek-praktek keagamaan yang menyimpang di kalangan ummat muslim Indonesia pada abad ke-20. Hal inilah yang mengundang mereka untuk bergerak cepat dalam melakukan pemurnian ajaran-ajaran agama islam dari TBC (Takhayul, Bid’ah dan Churafat).
Dengan bersumber kepada al-Qur’ān dan Hadīts, Persis mengajarkan kepada masyarakat bagaimana cara yang tepat dalam menjalankan perintah agama. Dan sejak masa lahirnya Persis telah melakukan hal tersebut hingga akhirnya membentangkan sayapnya hingga ke berbagai daerah dengan tetap berporos kepada al-Qur’ān dan Hadīts.
1. Sekilas tentang PERSIS
Pada awal mulanya Persis bukanlah sebuah badan organisasi kemasyarakatan. Sejarah kemunculannya tidak dapat dipisahkan dari sebuah perkumpulan yang dimotori oleh dua tokoh pedagang asal Palembang yaitu H. Zamzam yang telah menyelesaikan pendidikannya di Dār al-‘Ulūm Mekah dan H. Muhammad Yunus. Kedua tokoh tersebut melakukan kegiatan tadarrusan (penelaahan agama islam) di Bandung dengan jumlah anggota awal sekitar 20 orang.[1]
Masalah-masalah yang mereka diskusikan tidaklah terbatas. Setiap yang hadir bebas mengajukan permasalahan agama yang siap ditelaah, dikaji dan diuji. Namun, pada perkembangan selanjutnya diskusi mereka tidak lagi terbatas pada kajian-kajian keagamaan saja seperti kajian tentang tentang perdebatan antara Al-Irsyad dan Djami’at Chair namun mereka juga mengikuti perkembangan mengenai masalah komunisme seperti infiltrasi komunisme dalam Sarekat Islam dan upaya-upaya kaum muslim untuk menghilangkan pengaruh komunis dari gerakan politik muslim.[2]
Keanggotaan mereka-pun pada saat itu tidak dibedakan[3] baik dari segi etnis maupun pemikiran sehingga kajian mereka mengenai keagamaan semakin kaya dan luas namun, diskusinya tetap membahas mengenai keagamaan islam yang bersifat umum.
Dari diskusi kecil ini kemudian dikembangkan menjadi sebuah organisasi yang bernama “Persatuan Islam”. Peresmian organisasi ini terjadi pada tanggal 12 September 1923 (1 Shafar 1324 H) di Bandung. Dalam Tafsir Qanun Asasi Persatuan Islam, 1968:13-14 disebutkan bahwa nama ini diberikan dengan maksud untuk mengarahkan ruh al-jtihād dan jihād; berusaha sekuat tenaga mencapai harapan dan cita-cita yang sesuai dengan kehendak dan cita-cita organisasi, yaitu, Persatuan pemikiran islam, persatuan rasa islam, persatuan suara islam, dan persatuan usaha islam. Ide filsafat dari konsepsi persatuan pemikiran, rasa, suara dan usaha islam ini diilhami firman Allah dalam al-Qur’ān surat Ali Imran ayat 103: “dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali (undang-undang/aturan) Allah seluruhnya; dan janganlah kamu bercerai-berai”, serta sebuah hadīts Nabi yang diriwayatkan oleh al-Turmudzi: “Kekuatan Allah itu beserta jama’ah”. Firman Allah dan Hadīts Nabi tersebut dijadikan motto Persis dan ditulis dalam lambang Persis yang berbentuk lingkaran bintang bersudut 12.[4]
Keberhasilan Persis dalam melakukan diskusi-diskusi keagamaan serta berbentuk sebuah organisasi telah menarik berbagai kalangan untuk ikut bergabung dalam diskusi mereka. Sebut saja Ahmad Hassan seorang pria asal Singapura yang mumpuni dalam masalah umum dan agama serta cakap dalam berbahasa Arab, Inggris, Melayu dan Tamil ikut bergabung dalam kelompok diskusi ini.
Kehadiran Hassan di dalam Persis disinyalir ketika Persis mengalami pergeseran pemikiran. sebelum tahun 1926 Persis tetap pada kajian keagamaannya yang bersifat umum yang mana untuk mempertahankan keutuhan anggotanya yang plural tersebut. Sepertinya ada keinginan H. Zamzam dan sebagian jama’ahnya untuk memperkenalkan pemikiran-pemikiran modernis. Tetapi, timbul ketidaksetujuan di pihak lain yang berpandangan tradisionalis.
Di saat yang bersamaan, Hassan muncul sebagai seorang tokoh dimana pemikirannya cukup maju dan berpandangan modernis yang tentunya sejalan dengan pemikiran Persis saat itu. Dan seiring dengan keadaan tersebut, pada tahun 1926, para pihak tradisionalis memisahkan diri dengan membuat organisasi tandingan yang bernama “Permufakatan Islam”. Namun, Permufakatan Islam tidak lagi terdengar kabarnya, dimungkinkan mereka melebur ke dalam Nadhatul ‘Ulama yang berdiri pada tahun yang sama.[5]
2. Pemahaman Hadīts di Kalangan Persatuan Islam
a. Pengertian Hadīts
Dalam pandangan Persis –khususnya Ahmad Hassan sebagai guru serta tokoh utama Persis- hadīts merupakan sumber kedua agama islam yang patut dipegang erat oleh ummat muslim. Al-Qur’ān dan Hadīts[6] sama-sama mengajarkan ummat muslim dalam mengaplikasikan perilaku beragama mereka di kehidupan sehari-hari dengan bentuk ajaran yang murni serta cocok dalam setiap waktu dan tempat (shālih likulli zamān wa makān). Dari keduanya kita dapat menjelaskan segala sesuatu yang ada di muka bumi ini. Keduanya memberi bukti-bukti akan kebenaran-kebenaran yang ada dari segala aspek kehidupan ini.
Hadīts menurut bahasa memiliki arti “perkataan, pembicaraan, percakapan, sesuatu yang baru, kabaran”. Sedangkan menurut istilahnya adalah perkataan perbuatan dan hal-hal dari Rasul serta taqrīr-nya. Yang disebut taqrīr ialah perbuatan atau percakapan sahabat yang diketahui Rasul, tetapi dibiarkannya. Hadīts menurut istilahnya sama dengan al-Sunnah.[7]
Ahmad Hassan -selaku tokoh utama Persis- menjelaskan bahwa sunnah adalah “sabda Nabi, tingkah laku Nabi dan tingkah laku orang-orang lain yang diperkenankan olehnya.” Sunnah sendiri merupakan bagian dari wahyu. Dalam masalah agama semisal ibadah, shalat, dan lain, sabda-sabda dan perbuatn-perbuatan Nabi diatur oleh wahyu dari Allah dan menetukan cara yang tepat dimana kewajiban-kewajiban agama ini harus dilakukan. Di luar hal tersebut yakni masalah-masalah peribadi dan duniawi, Nabi tidak dibimbing oleh wahyu tetapi melakukannya melalui ijtihad dan upaya mental yang dianggap benar selama wahyu tidak diturunkan untuk mengubah penafsiran itu.[8]
b. Fungsi dan Kedudukan Hadīts
Sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya bahwa hadīts sebagai sumber hukum di dalam islam memiliki peran kedua setelah al-Qur’ān. Kedua-duanya menuntun dan mengajarkan ummat islam untuk melaksanakan perintah agama secara baik dan benar. Dan kaum muslimin sepakat untuk menerima hadīts Nabi baik yang dibimbing oleh wahyu maupun melalui nalar (ijtihad) beliau sendiri.[9]
Disamping memegang kedua sumber di atas, Persis juga menggunakan ijtihad. Sebuah tulisan pendek miliknya yang berjudul “Bagaimana Menghukum dengan Qur’ān dan Hadīts” yang terdapat dalam buku Islam dan Kebangsaan (1984:34-36) disebutkan sebagaimana berikut:
Kalau hakim tidak bisa jalankan qiyasnya karena belum terlihat pokok buat ia mengqiyas, maka boleh ia berijtihad pada menghukum dengan melihat kepada maslahat dan mafsadatnya….. Perkara-perkara yang tidak ada nash dan tidak dapat diqiyaskan dengan nash-nash yang sudah ada di dalam al-Qur’ān dan hadīts-hadīts, boleh kita atur dengan rembukan antara kita dengan memandang buahnya yang buruk dan dan yang baik asal tidak bertentangan dengan salah satu hukum agama.[10]
Namun, kedudukan ijtihad selalu dan tetap di bawah al-Qur’ān dan hadīts.
Fungsi sunnah di dalam Tasyri’ dalam hubungannya dengan al-Qur’ān terdiri dari tiga macam:[11]
1. Sunnah berfungsi sebagai penguat hukum yang telah ada di dalam al-Qur’ān.
2. Sunnah berfungsi sebagai penafsir dan pengikat terhadap ayat-ayat yang masih mujmāl, ‘ām atau muthlaq seperti perintah shalat dan haji.
3. Sunnah berfungsi untuk menetapkan hukum atau syari’at yang tidak ditegaskan di dalam al-Qur’ān seperti syari’at tentang ‘aqiqah dan mengurus jenazah ditetapkan berdasarkan sunnah.
c. Macam-Macam Hadīts
Dari segi boleh dipakai dan tidaknya, hadīts dibagi menjadi tiga macam: [12] 1.) Hadīts Maqbūl; hadīts yang boleh diterima atau dipakai, 2) Hadīts Dha’īf; hadīts yang lemah, dan 3) Hadīts Maudhū’; palsu. Dalam hadīts maqbūl sendiri ada tiga macam: 1) Hasan, 2) Shahīh, dan 3) Ashhāh (lebih shahih). Yang termasuk dalam hadīts ashhāh ini adalah hadīts mutawātir[13] yakni hadīts yang didengar langsung dari Nabi oleh banyak orang, sehingga benar-benar yakin bahwa hadīts itu dari Nabi. Hadīts hasan boleh dijadikan alasan kalau tidak berlawanan dengan al-Qur’ān, dengan hadīts shahīh atau dengan hadīts ashhāh. Hadīts shahīh boleh dibuat dalil apabila tidak berlawanan dengan al-Qur’ān atau dengan hadīts ashhāh. Hadīts ashhāh boleh dijadikan dalil jika tidak berlawanan dengan al-Qur’ān.
3. Legislasi Hukum Agama; Kajian atas Dewan Hisbah
a. Sejarah Dewan Hisbah
Dewan Hisbah merupakan sebuah wadah pertemuan anggota Persis dimana khususnya para kalangan ‘alim ‘ulamā. Disinilah mereka melakukan pertukaran ilmu antara satu sama lain, melakukan kajian serta menjawab segala persoalan-persoalan agama. Dari wadah ini pula mereka melakukan control terhadap para pengurus-pengurusnya.
Pada awal mulanya dewan ini bernama Majelis Ulama yang resmi terbentuk pada Muktamar ke-6 yang diadakan di Bandung pada tanggal 15-18 Desember 1956. Namun, di masa pergantian kepemimpinan dari Isa Anshari (1948-1960) ke kepemimpinan K.H.E. Abdurrahman (1960-1983) Majelis Ulama berganti nama menjadi Dewan Hisbah[14] yang hingga kini kita kenal.
Adapun kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh Dewan Hisbah sebagaimana yang tercantum dalam Qanun Asasi yakni:[15]
1. Meneliti hukum-hukum islam
2. Menyusun petunjuk pelaksanaan ibadah bagi anggota jam’iyah
3. Mengawasi pelaksanaan hukum islam
4. Memberikan teguran kepada anggota Persatuan Islam yang melakukan pelanggaran hukum melalui Pusat Pimpinan.
b. Metode Legislasi Hukum
Dalam menetapkan hukum atas sebuah permasalahan agama, Persis menggunakan beberapa metode-metode yang mana tergabung dalam analisis kebahasaan (linguistik) dan analisis nalar (rasio).
Dalam analisis kebahasaan, di dalamnya mencakup antara lain:[16]
Analisis makna kata sesuai bentuk kata; analisis ini difokuskan kepada pemahaman yang tepat akan lafal-lafal dari sebuah ayat-ayat maupun hadīts-hadīts hukum dimana terdapat banyak perubahan-perubahan bunyi lafal yang mempengaruhi makna lafal itu sendiri.
Analisis makna lafal sesuai maksud penggunaan lafal; analisis ini dimaksudkan untuk dapat membedakan antara makna hakiki dan makna majazi.
Analisis lafal sesuai kekuatannya dalam menunjukkan makna; pada analisis ini sesorang mampu mengetahui lafal yang menunjukkan hukum yang jelas seperti muhkām, mufassar, nash dan dzāhir dan yang kurang jelas seperti mutasyābih[17], mujmāl, musykal dan al-Khafi.
4. Cara-cara menganalisis ke-dhalalāt-an lafal; dalam hal ini Persis cenderung menggunakan metode yang dirumuskan oleh Hanafiah yaitu dhalālat al-‘ibārat, dhalālat al-isyāriyat, dhalālat al-dhalālat dan dhalālat al-iqtidlā.
Disamping melakukan analisis teks, Persis juga menempuh analisis substantive atau yang dikenal dengan manhaj ta’līlī. Adapun metode analisis dalam hal ini yakni qiyās dan istihsān. Sedangkan metode lain yang digunakannya yakni metode analisis mashlahah al-mursalah atau yang disebut dengan manhaj istishlāhī.
C. Kesimpulan dan Penutup
Dari pembahasan di atas dapat diketahui bahwasanya Persatuan Islam merupakan sebuah organisasi yang berupaya memurnikan kembali ajaran-ajaran islam yang banyak menyimpang di tengah-tengah masyarakat muslim Indonesia. Al-Qur’ān dan Hadīts merupakan sumber utama ajaran ummat islam dalam setiap bertingkah laku. Begitupula dalam melakukan istinbāth al-hukm semuanya harus berlandaskan al-Qur’ān. Namun, disamping hal tersebut Persatuan Islam juga masih menggunakan akal dalam menentukan hukum. Hal ini berlaku ketika sebuah perkara tidak memiliki hukum dalam al-Qur’ān dan Hadīts.
Tidaklah mengherankan jika Persatuan Islam termasuk golongan modernis-tekstualis. Hal ini terbukti dengan metode-metode yang digunakan dalam menarik satu hukum yang terdiri dari analisis kebahasaan dan analisis nalar. Akan tetapi, sekali lagi ditekankan bahwa posisi akal tetap berada di bawah al-Qur’ān dan Hadīts sebagai sumber yang absolut dan tidak dapat diungguli oleh sumber yang nisbi yakni akal itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Amien, Shiddiq dkk. Panduan Hidup Berjama’ah. 2005. Bandung: Tafakur.
Federspiel, Howard M. Labirin Ideologi Muslim: Pencarian dan Pergulatan Persis di Era Kemunculan Negara Indonesia (1923-1957). Terj. Ruslani dan Kurniawan Abdullah. 2004. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta
___________. Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Abad XX. Terj. Yudian W. Asmin dan H Afandi Mochtar. 1996. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Firdaus, Haris. NU, Persis atau Muhammadiyah yang Bid’ah. 2004. Bandung: Mujahid
Khaeruman, Badri. Islam Ideologis Perspektif Pemikiran dan Peran Pembaruan Persis. 2005. Jakarta: CV. Misaka Galiza
Rosyada, Dede. Metode Kajian Hukum Dewan Hisbah Persis. 1999. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu
Wildan, Dadan. Yang Da’i Yang Politikus: Hayat dan Perjuangan Lima Tokoh Persis. 1999. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
[1] Baca: Dadan Wildan, Yang Da’i Yang Politikus: Hayat dan Perjuangan Lima Tokoh Persis, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999), hlm. 7. Jumlah tersebut merupakan jumlah yang sering didapatkan di berbagai buku yang berkenaan dengan hal ini. Namun, Badri Khaeruman dalam bukunya yang merupakan hasil tesis beliau disebutkan sebanyak 12 orang yang iktu dalam diskusi tersebut. Lihat: Badri Khaeruman, Islam Ideologis Perspektif Pemikiran dan Peran Pembaruan Persis,( Jakarta: CV. Misaka Galiza, 2005), hlm. 63
[2] Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Abad XX, Terj. Yudian W. Asmin dan H Afandi Mochtar, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996), hlm. 113
[3] Persis pada saat itu hanya menekankan satu persyaratan khusus bagi siapa saja yang ikut dalam kajian mereka. Satu-satunya persyaratan untuk menjadi anggota selama periode awal ini adalah minat dalam hal agama dan muslim yang mewakili baik dari sudut pandang modernis maupun tradisionalis pada awalnya sama-sama terdaftar sebagai anggota. Lihat: Howard M. Federspiel, Persatuan Islam…, hlm. 113
[4] Dadan Wildan, Yang Da’i Yang Politikus…, hlm. 7-8
[5] Selengkapnya baca: Howard M. Federspiel, Persatuan Islam…, hlm. 114
[6] Pemahaman Persis selalu didasarkan pada dua sumber ajaran tersebut secara ketat. Adapun pengunaan akal (rasio) dianggap tidak mampu mengungguli keduanya karena keduanya bersifat mutlak sedangkan rasio bersifat nisbi. Sesuatu yang nisbi tidak mampu menjangkau yang bersifat mutlak. Rasionalisasi yang paling jauh sebatas istidlāl, dalam rangka memahami teks-teks ajaran dari al-Qur’ān dan hadīts.
Bagi Persatuan Islam, setiap pengamalan ajaran Islam haruslah sesuai dengan contoh yang diberikan oleh Rasulullah saw. Sedangkan yang di luar itu disebut bid’ah. Karena itu, pengamalan ajaranIslam yang terbaik adalah Islam yang diamalkan oleh Rasulullah saw. Dan masyarakat masa Nabi merupakan model terbaik bagi masyarakat Islam yang dicita-citakan dimasa modern dewasa ini. Badri Khaeruman, Islam Ideologis…, hlm. 114
[7] Badri Khaeruman, Islam Ideologis…, hlm. 141.
[8] Lihat: Howard M. Federspiel, Persatuan Islam…, hlm. 50 dan Howard M. Federspiel, Labirin Ideologi Muslim: Pencarian dan Pergulatan Persis di Era Kemunculan Negara Indonesia (1923-1957), Terj. Ruslani dan Kurniawan Abdullah, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2004), hlm. 174-175
[9] Fungsi sunnah sebagai penentu hukum layaknya al-Qur’ān dijelaskan sendiri oleh al-Qur’ān di Surah al-Hasyr ayat 7.
[10] Selengkapnya baca: Dadan Wildan, Yang Da’i Yang Politikus…, hlm. 46-47
[11] Shiddiq Amien dkk, Panduan Hidup Berjama’ah, (Bandung: Tafakur , 2005), hlm. 169
[12] Badri Khaeruman, Islam Ideologis…, hlm. 141
[13] Hadīts mutawātir adalah hadīts yang diriwayatkan oleh banyak orang dan mustahil mereka bersepakat untuk berdusta, diterima dari banyak orang pula sampai periwayatannya kepada Nabi saw melalui penglihatan dan pendengaran langsung. Shiddiq Amien dkk, Panduan Hidup Berjama’ah, hlm. 170
[14] Perubahan ini disebabkan ketika masih bernama Majelis Ulama lebih terfokus pada kajian keagamaan, pemberian fatwa, dan legitimasi norma atau praktek keagamaan tertentu sehingga akses terhadap jama’ahnya lebih kuat ketimbang control internal pimpinan eksekutifnya. Setelah berganti nama, maka dilakukan perbaikan dengan melakukan pengembangan fungsi strukturnya. Baca: Dede Rosyada, Metode Kajian Hukum Dewan Hisbah Persis. (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. ix
[15] Dede Rosyada, Metode Kajian Hukum…, hlm. 4-5
[16] Baca selengkapnya: Dede Rosyada, Metode Kajian Hukum…, hlm. 32-60
[17] Salah satu hadīts yang termasuk dalam hal ini adalah :
لا صلاة إلا بفاتحة الكتاب
Hadīts di atas masih memungkinkan masih adanya takwil, sehingga ada yang memahami “tidak sah” ini pendapat jumhur ulamā’ dan ada juga yang memahami “tidak sempurna” seperti pendapat Hanafiyah. Shiddiq Amien dkk, Panduan Hidup Berjama’ah, hlm. 170
Ditulis oleh Syihab. M Sumber UIN Sunan Kalijaga
Demikianlah artikel Pemahaman Hadis di Kalangan Persatuan Islam (PERSIS). Mudahan Bermanfaat